Channel Pers

DPRD Luwu Timur Ingin Kartu Sehat Ibas–Puspa "sakti" Seperti Yang di Gembar-Gemborkan




Luwu Timur, Channelpers.com -Di atas kertas, program Kartu Sehat Ibas–Puspa terdengar menjanjikan: sebuah jaminan layanan kesehatan gratis bagi seluruh warga Luwu Timur, hanya berbekal KTP. Tak perlu antre panjang untuk urusan BPJS, tak perlu gundah jika kartu asuransi tak aktif. Cukup tunjukkan KTP, maka pintu layanan medis dibuka. 

Namun janji indah itu perlahan-lahan retak dalam Rapat Panitia Khusus (Pansus) RPJMD yang digelar Jumat, 23 Mei 2025, di ruang Badan Anggaran DPRD Luwu Timur.

Di bawah kendali pimpinan rapat Sarkawi A. Hamid dan didampingi oleh Wakil Ketua I DPRD HM. Siddiq BM, serta anggota dewan seperti Muhammad Iwan dan Prima Eyza Purnama, satu per satu kejanggalan program yang disebut “kartu sakti” itu terungkap. Forum yang dihadiri sejumlah pejabat Dinas Kesehatan, Bapenda, Dinas Sosial P3A, hingga top manajemen BUMD Lutim Gemilang itu seolah menjadi panggung otopsi bagi program unggulan pemerintah daerah.

“Apa gunanya sebuah kartu sakti jika tak bisa menyelesaikan urusan birokrasi?” kritik Mahading, anggota DPRD. Pertanyaan itu mewakili keresahan banyak anggota dewan, yang menilai program ini belum menyentuh esensi efisiensi. Di lapangan, warga tetap harus mengurus berbagai dokumen sebelum mendapat layanan. Bahkan, pencetakan kartu baru dilakukan setelah pasien jatuh sakit dan datang ke fasilitas kesehatan. “Jangan tunggu orang sakit baru dibuatkan kartunya,” tegas Sarkawi, nada suaranya menandakan ketidaksabaran.

Masalah distribusi pun tak kalah pelik. Hingga kini, belum semua warga memegang kartu secara fisik. Padahal, kartu ini sudah diluncurkan secara resmi. “Kalau memang ini kartu fisik, ya harus didistribusikan. Bukan hanya simbol,” lanjut Sarkawi, menolak anggapan bahwa KTP bisa langsung difungsikan sebagai kartu sehat tanpa perlu wujud kartu fisik.

Satu hal yang paling menohok adalah pembatasan wilayah layanan. Kartu Sehat Ibas–Puspa hanya berlaku di wilayah Kabupaten Luwu Timur. Di luar daerah, fasilitas kesehatan yang bekerja sama hanya satu: Rumah Sakit Unhas di Makassar. Selain itu, kartu ini tak berlaku. Bagi warga perantauan, janji jaminan kesehatan gratis menjadi ilusi.

“Kalau hanya berlaku di Luwu Timur, ini bukan kebanggaan. Biasa saja,” ujar Sarkawi dengan nada getir. Ia bahkan menyarankan agar cakupan layanan kartu diperluas bagi warga Luwu Timur yang sedang berada di luar kabupaten. “Kalau ini bisa diwujudkan, Luwu Timur bisa jadi juara nasional.”

Di meja rapat, sejumlah anggota DPRD membongkar cerita-cerita lapangan yang tak pernah tercantum dalam dokumen resmi. Nurcholis Azis Rajmal menuturkan kasus diskriminasi layanan: warga Burau yang ditolak Puskesmas Malili karena alamat KTP berbeda kecamatan. “Saya harap dengan adanya kartu ini, di kecamatan mana pun warga bisa berobat tanpa harus ditolak,” ujarnya.

Pertanyaan pun mengemuka soal nasib para santri yang sudah menetap bertahun-tahun di Luwu Timur namun berasal dari luar daerah. “Pernah di zaman Bupati Andi Hatta, semua santri mendapat layanan gratis. Apakah sekarang mereka juga bisa mendapatkan manfaat yang sama?”

Cerita paling tragis datang dari Rivaldi, anggota DPRD dari PAN. Ia menuturkan kasus seorang warga yang sedang dalam perjalanan ke Makassar untuk rujukan medis, namun harus memutar balik karena surat rujukan sudah kedaluwarsa. “Pasien itu akhirnya meninggal di jalan,” katanya dengan suara tertahan. “Saya minta, kartu sehat ini jangan hanya soal pengobatan. Tapi juga bisa mengatasi kendala surat rujukan.”

Di tengah perdebatan fisik vs digital, Aripin dari Fraksi Golkar menawarkan solusi modern: cukup gunakan KTP, tak perlu cetak kartu baru. “Kalau masyarakat sakit, bawa saja KTP. Di situ otomatis sudah ada kartu sehat,” katanya. Tapi Mahading menegaskan, bukan soal bentuk yang jadi inti, melainkan fungsi pemotongan birokrasi. “Apakah digital atau fisik, yang penting kartu ini harus bisa menyelesaikan persoalan layanan,” ujarnya.

dr. Irfan, Direktur RSUD Ilagaligo Wotu, coba menjelaskan: “Kartu Sehat ini adalah simbol program. Warga tetap bisa dilayani gratis meskipun BPJS-nya mati, asalkan ber-KTP Luwu Timur.” Ia menyebut, program ini menanggung biaya yang tak dicakup BPJS. Namun penjelasan itu justru makin menegaskan bahwa sistem ini belum berdiri sendiri, melainkan masih bersandar pada keberadaan dokumen lain.

Sekretaris Dinas Kesehatan, Andi Tulleng, menyebut anggaran program tahun ini mencapai Rp61 miliar dan akan ditambah Rp3 miliar pasca-perubahan anggaran. Namun Mahading justru mempertanyakan efektivitasnya. “Kalau anggaran besar tapi warga masih bingung soal teknis layanan, untuk apa?”

Muhammad Nur, anggota DPRD lainnya, menyoroti kesiapan infrastruktur layanan. “Jangan sampai di atas kertas program ini tampak hebat, tapi di lapangan dokter tak ada, fasilitas kurang lengkap.” Ia berharap simbol kartu sehat benar-benar menjamin kemudahan dan kecepatan layanan tanpa perlu lagi berkutat dengan tumpukan birokrasi.

Muhammad Iwan dari Partai NasDem meminta seluruh masukan anggota dewan diakomodasi dalam penyempurnaan program. “Program ini perlu dikawal. Kartu sehat bukan hanya soal layanan kesehatan, tapi juga soal kepercayaan publik,” ujarnya.

Kartu Sehat Ibas–Puspa adalah janji besar dari Pemerintah Luwu Timur. Tapi janji tinggal janji jika hanya terpampang di spanduk dan baliho. Di ruang rapat, anggota DPRD telah membongkar satu per satu sisi lemahnya. Kini, bola ada di tangan eksekutif: maukah memperbaiki, mendengarkan, dan benar-benar menjadikan kartu ini “sakti”, bukan hanya sebagai jargon politik, tetapi sebagai jaminan nyata kesehatan bagi semua warga?

Sebab, di tengah realitas yang terus berubah, rakyat butuh program yang tidak hanya baik di atas meja, tapi juga terasa manfaatnya di meja periksa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama